Kamis, 12 Desember 2013

Shalat Jum'at




Sholat Jum'at adalah ibadah salat yang dikerjakan di hari jum'at pada waktu dzuhur dua rakaat secara berjamaah dan dilaksanakan setelah khutbah.

Hukum melaksanakan Shalat Jum’at
Salat Jumat merupakan kewajiban setiap muslim laki-laki. Hal ini tercantum dalam AL QUR’AN dan Hadits berikut ini:
·    Al Qur'an Al Jumu'ah ayat 9 yang artinya:"Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu diseru untuk melaksanakan salat pada hari Jumat, maka bersegeralah mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli, dan itu lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahui." (QS 62: 9)

·         "Hendaklah orang-orang itu berhenti dari meninggalkan salat Jum’at atau kalau tidak, Allah akan menutup hati mereka kemudian mereka akan menjadi orang yang lalai." (HR. Muslim)
·         "Sungguh aku berniat menyuruh seseorang (menjadi imam) salat bersama-sama yang lain, kemudian aku akan membakar rumah orang-orang yang meninggalkan salat Jum’at.” (HR. Muslim)
·         "Salat Jum’at itu wajib bagi tiap-tiap muslim, dilaksanakan secara berjama’ah terkecuali empat golongan, yaitu hamba sahaya, perempuan, anak kecil dan orang yang sakit." (HR. Abu Daud dan Al-Hakim, hadits shahih)

Shalah Jum'at memiliki hukum wajib 'ain bagi laki-laki / pria dewasa beragama islam, merdeka dan menetap di dalam negeri atau tempat tertentu. Jadi bagi para wanita / perempuan, anak-anak, orang sakit dan budak, solat jumat tidaklah wajib hukumnya.

Hal – hal yang di anjurkan
Pada salat Jumat setiap muslim dianjurkan untuk memperhatikan hal-hal berikut:
·         Mandi, berpakaian rapi, memakai wewangian dan bersiwak (menggosok gigi).
·         Meninggalkan transaksi jual beli ketika adzan sudah mulai berkumandang.
·         Menyegerakan pergi ke masjid.
·         Melakukan salat-salat sunnah di masjid sebelum salat Jum’at selama imam belum datang.
·         Tidak melangkahi pundak-pundak orang yang sedang duduk dan memisahkan/menggeser mereka.
·         Berhenti dari segala pembicaraan dan perbuatan sia-sia apabila imam telah datang.
·         Hendaklah memperbanyak membaca shalawat serta salam kepada Rasulullah SAW pada malam Jum’at dan siang harinya
·         Memanfaatkannya untuk bersungguh-sungguh dalam berdoa karena hari Jumat adalah waktu yang mustajab untuk dikabulkannya doa.


Syarat sah melaksanakan Sholat jum'at

1. Shalat jumat diadakan di tempat yang memang diperuntukkan untuk sholat jumat. Tidak perlu mengadakan pelaksanaan solat jum'at di tempat sementara seperti tanah kosong, ladang, kebun, dll.

2. Minimal jumlah jamaah peserta salat jum'at adalah 40 orang.

3. Shalat Jum'at dilaksanakan pada waktu shalat dhuhur / zuhur dan setelah dua/khutbah dari khatib.


Ketentuan Sholat Jum'at

Shalat jumat memiliki isi kegiatan sebagai berikut :
1. Mengucapkan hamdalah.
2. Mengucapkan shalawat Rasulullah SAW.
3. Mengucapkan dua kalimat syahadat.
4. Memberikan nasihat kepada para jamaah.
5. Membaca ayat-ayat suci Al-quran.
6. Membaca doa.


Hikmah Sholat jum'at

1. Simbol persatuan sesama Umat Islam dengan berkumpul bersama, beribadah bersama dengan barisan shaf yang rapat dan rapi.
2. Untuk menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antar sesama manusia. Semua sama antara yang miskin, kaya, tua, muda, pintar, bodoh, dan lain sebagainya.
3. Menurut hadis, doa yang kita panjatkan kepada Allah SWT akan dikabulkan.
4. Sebagai syiar Islam.

Tata Cara Khutbah Jum'at

1. Membaca basmalah : bismillaahir rahmaanir rahiimi

2. Mengucapkan salam : assalaamu 'alaikum wa rahmatullaahi wa barakaatuhu

3. Adzan

4. Membaca hamdalah :

innalhamdulillaah, nahmaduhuu
wa nasta'iinuhuu wa nastaghfiruhu
wa na'uudzubillaahi min syuruuri 'anfusinaa
wa min syayyi-aati a'maalinaa
man yahdillaahu falaa mudhillalahu
wa man yudhlilhu falaa haadiyalahu

5. Membaca syahadat :

asyhadu anlaa ilaaha illallah wahdahu laa syariikalaahu
wa asyhadu annaa muhammadan 'abduhuu wa rasuuluhuu
laa nabiyya ba'dahu

6. Membaca shalawat :

allaahumma shalli 'alaa syayyidinaa muhammadin
wa 'alaa aalihii wa shahbihii 'ajma'iin

7. Membaca ayat alqur'an yang mengajak bertaqwa kepada allah (biasanya khatib membaca ali imran ayat 102)

fa-uushiikum wa nafsii bit taquullaah
qaalallaahu ta'aala fiil qur'aanil kariim
a'uudzubillaahi minasy syaithoonir rajiim
yaa ayyuhal ladziina 'aamanuu
ittaquullaaha haqqaa tuqaatihi
wa laa tamuutunnaa illaa wa antum muslimuun
wa qaalallahu ta'aalaa fil qur'aanil karim
audzubillaahimina sy syaitoon nirrojiim ...
Membaca ayat alqur'an yang lain sesuai dengan topik khutbah
amma ba'du

8. Berwasiat untuk diri sendiri dan jamaah agar selalu dan meningkatkan taqwa kepada Allah SWT

9. Mulai berkhutbah sesuai topiknya memanggil jamaah bisa dengan panggilan ayyuhal muslimun atau ma'asyiral muslimin rahimakumullah, atau sidang jum'at yang dirahmati allah.

10. Menutup khutbah pertama dengan do'a untuk seluruh kaum muslimin dan muslimat barakallahu lii wa lakum fill qur'aanil azhiim

wa nafa'nii wa iyyakum bima fiihimaa minal aayaati wa dzikril hakiim
wa nafa'anaa bi hadii sayyidal mursaliin
wa biqawlihiil qawiim aquulu qawli haadza
wa astaghfirullaahal 'azhiim lii wa lakum
wa lii syaa-iril mu'miniina wal mu'minaat
wal muslimiina wal muslimaat min kulli dzanbii
fastaghfiruuhuu innahuu huwas samii'ul 'aliim
wa innahuu huwal ghafuurur rahiim

11. Duduk sebentar (tuma'ninah) untuk memberi kesempatan jamaah jum'at untuk beristighfar dan membaca shalawat pelan-pelan

12. Khutbah kedua aturannya persis sama dengan khutbah pertama semua urutan dari hamdalah, syahadat, shalawat, wasiat taqwa, ayat qur'an, dan do'a untuk seluruh orang muslim/muslimat dan mu'minin/mu'minat harus dipenuhi. Contoh bacaan yang berbeda pada khutbah kedua :

alhamdulillah,
alhamdulillaahi hamdan katsiiraan thayyiban mubaarakan fiihi
kamaa yuhibbu rabbunaa wa yuriidhuu
wa asyhadu an laa ilaaha illallaah wahdahu laa syariikalahu
wa asyhadu annaa muhammadan 'abduhuu wa rasuuluhu
shallallaahu 'alaihi wa 'alaa aalihii wa shahbihi wa sallam
tasliiman katsiiran ilaa yaumid diin
amma ba'du

fattaquullaahu haqqut taqwaa kamaa amar


13. Bacaan penutup wasiat khutbah kedua dan membaca ayat al qur'an yang menyuruh bershalawat (al ahzab 56)

'ibaadallaah innallaaha amarakum bi amri bi da-aafiati binafsihi
wa tsanii bimalaaikatihil musabbihati biqudsihi
wa tsullatsaa bikum ayyuhal mu-minuuna min jannati wa insihi
fa qaalallaahu qawlan kariiman
innallaaha wa malaaikatahuu yushalluuuna 'alan nabii
yaa ayyuhal ladziina 'aamanuu shalluu 'alaihi wa salliimu tasliimaa
allaahumma shalli wa sallim wa baarik 'alaa 'abdukaa wa rusuulikaa muhammad
wa aridhallaahumma 'an khulafaa-ur raasyidiin
abi bakri wa 'umaara wa 'utsmaana wa 'alii
wa 'an syaa-iril aali wash shahaabati ajma'iin
wat taabi'iina wat taabi'it taabi'iina
wa man tabi'ahum bi ihsaanin ilaa yaumid di
wa 'alaina ma'ahum birahmatika yaa arhamar raahimiin

14. Membaca do'a

allahummagh fir lil mu'miniina wal mu'minaat wal muslimiina wal muslimaat
al-ahyaa-i minhum wal amwaat innakas samii'un qariibun mujiibud da'wat
wa yaa qaadhiyal haajaat
allahumma inna....
baca do'a yang lain dan ditutup do'a
rabbanaa aatinaa fid dun-yaa hasanah wa fill aakhiraati hasanah wa qinaa 'adzaaban naar

15. Penutup khutbah kedua (bacaan ini didekritkan oleh khalifah umar bin abdul aziz harus dibaca karena pada masa itu khutbah jum'at sering digunakan untuk menyerang lawan politik oleh para khatib, diambil dari surat an nahl 90)

'ibaadallah
innallaaha ya-muruu bil 'adli wal ihsaan
wa iitaa-i dzil qurbaa
wa yanhaa 'anil fahsyaa-i wal munkari wal baghyi
yaizhzhukum la'allakum tadzakkaruun
fadzkurullaaha 'azhiimi wa yadzkurkum
fastaghfirullaaha yastajib lakum
wasykuruuhu 'alaa ni'matil latii
wa ladzikrullaahu akbaru
wa aqiimish shala

16. Iqamat untuk shalat jum'at
 “Khotbah”, secara bahasa, adalah ‘perkataan yang disampaikan di atas mimbar’. Adapun kata “khitbah” yang seakar dengan kata “khotbah” (dalam bahasa Arab) berarti ‘melamar wanita untuk dinikahi’. “Khotbah” berasal dari bahasa Arab yang merupakan kata bentukan dari kata “mukhathabah” yang berarti ‘pembicaraan’. Ada pula yang mengatakannya berasal dari kata “al-khatbu” yang berarti ‘perkara besar yang diperbincangkan’, karena orang-orang Arab tidak berkhotbah kecuali pada perkara besar. Sebagian ulama mendefinisikan “khotbah” sebagai ‘perkataan tersusun yang mengandung nasihat dan informasi’. Akan tetapi, definisi ini terlalu umum. Adapun definisi yang lebih jelas ialah definisi yang diberikan oleh Dr. Ahmad Al-Hufi yaitu, ‘Cabang ilmu atau seni berbicara di hadapan banyak orang dengan tujuan meyakinkan dan memengaruhi mereka’. Dengan demikian, khotbah harus disampaikan secara lisan di hadapan banyak orang dan harus meyakinkan dengan argumen-argumen yang kuat serta memberikan pengaruh kepada pendengar, baik itu berupa motivasi atau peringatan.
Adapun terkait khotbah Jumat, tidak terdapat definisi khusus yang diberikan oleh para ulama karena maksudnya telah jelas.
Dalam kitab Bada’iush Shana’i, pada pemaparan tentang hukum khotbah Jumat, disebutkan, “Khotbah, secara umum, adalah perkataan yang mencakup pujian kepada Allah, salawat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, doa untuk kaum muslimin serta pelajaran dan peringatan bagi mereka.”
Penjelasan ini adalah penjelasan umum dan bukan definisi yang teliti dan memenuhi syarat-syarat definisi ilmiah.
Adapun definisi yang hampir pas untuk “khotbah Jumat” ialah ‘perkataan yang disampaikan kepada sejumlah orang secara berkesinambungan, berupa nasihat dengan bahasa Arab, sesaat sebelum shalat Jumat setelah masuk waktunya, disertai niat serta diucapkan secara keras, dilakukan dengan berdiri jika mampu, sehingga tercapai tujuannya.
Hukum khotbah Jumat

Para ahli fikih berbeda pendapat mengenai hukum khotbah pada shalat Jumat, apakah termasuk syarat shalat sehingga shalat Jumat tidak sah tanpanya, atau sekadar sunah sehingga shalat Jumat tetap sah tanpanya. Berkenaan dengan hal ini, para ahli fikih terbagi ke dalam dua pendapat.
Pendapat pertama menyatakan bahwa khotbah merupakan syarat shalat Jumat. Pendapat ini adalah pendapat Hanafiah dan mayoritas Malikiah. Pendapat ini adalah pendapat yang sahih bagi mereka, demikian juga Syafi’iah dan Hanabilah.
Disebutkan dalam kitab Al-Hawi, “Hal ini merupakan pendapat seluruh ahli fikih selain Hasan Al-Bashri, karena ia menyelisihi pendapat ijma’; ia berkata, ‘Khotbah tidaklah wajib.’”
Disebutkan pula dalam kitab Al-Mughni, “… Kesimpulannya adalah bahwa khotbah merupakan syarat shalat Jumat; shalat Jumat tidak sah tanpanya, dan kami tidak mengetahui pendapat yang bertentangan kecuali pendapat Hasan.”
Pendapat kedua menyebutkan bahwa khotbah merupakan sunah Jumat. Ini merupakan pendapat Hasan Al-Bashri.
Pendapat ini juga diriwayatkan dari Imam Malik, demikian pula pendapat sebagian pengikutnya (Malikiah). Ibnu Hazm juga berpendapat demikian.
Tarjih: Pendapat yang kuat dalam permasalahan ini ialah pendapat pertama, bahwa khotbah merupakan syarat sah shalat Jumat. Bahkan, sebagian ulama menganggap hal ini menyerupai ijma’.
Adapun dalil yang menguatkan pendapat ini adalah dalil yang diambil dari Alquran, hadis, dan atsar dari sahabat serta tabi’in. Berikut ini pemaparan dalil-dalil tersebut.
Dalil Alquran
Firman Allah subhanahu wa ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ
Wahai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jumat maka bersegeralah mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.” (Q.s. Al-Jumu’ah:9)
Ulama salaf berbeda pendapat mengenai maksud dari “mengingat Allah” dalam ayat di atas. Sebagian salaf mengatakan bahwa maknanya adalah ‘khotbah’, sedangkan sebagian yang lain mengatakan bahwa maknanya adalah ‘shalat’. Ibnul Arabi menilai bahwa yang sahih adalah kedua pemaknaan tersebut.
Adapun yang berpendapat maksud dari “mengingat Allah” dalam ayat di atas adalah ‘khotbah’ menyatakan kewajibannya dari dua sisi:
1.     Ayat tersebut merupakan perintah untuk bersegera menuju khotbah, sedangkan hukum asal perintah adalah wajib. Oleh karena itu, tidak ada perintah untuk bersegera menuju sesuatu yang wajib kecuali maknanya adalah “untuk memenuhi kewajiban”.
2.     Allah melarang jual beli ketika dikumandangkannya azan untuk khotbah Jumat. Dengan demikian, jual beli haram dilakukan pada waktu itu. Pengharaman jual beli menunjukkan wajibnya khotbah, karena sesuatu yang sunah tidak bisa mengharamkan yang mubah.
Adapun yang berpendapat bahwa maksud “mengingat Allah” dalam ayat di atas adalah ‘shalat’, menyatakan bahwa khotbah termasuk dalam shalat. Seorang hamba mengingat Allah dengan perbuatannya, sebagaimana ia bertasbih dengan perbuatannya pula.
Selain itu, Allah ta’ala juga berfirman,
وَإِذَا رَأَوْا تِجَارَةً أَوْ لَهْوًا انفَضُّوا إِلَيْهَا وَتَرَكُوكَ قَائِمًا
Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya (perniagaan dan permainan itu) dan mereka meninggalkan dirimu yang sedang berdiri (berkhotbah).” (Q.s. Al-Jumu’ah:11)
Allah ta’ala mencela mereka karena mereka berpaling dan meninggalkan khotbah, sedangkan makna “wajib” secara syariat ialah ‘sesuatu yang dicela karena ditinggalkan’.
Dalil hadis
Hadis riwayat Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma; ia berkata,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ قَائِمًا، ثُمَّ يَقْعُدُ، ثُمَّ يَقُومُ، كَمَا تَفْعَلُونَ الآنَ
Nabi berkhotbah dengan berdiri kemudian duduk kemudian berdiri, seperti yang biasa kalian lakukan sekarang.” (H.r. Bukhari, 1:221; Muslim, 2:589)
Hadis riwayat Jabir bin Samurah radhiallahu ‘anhu; ia berkata,
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ قَائِمًا، ثُمَّ يَجْلِسُ، ثُمَّ يَقُومُ فَيَخْطُبُ قَائِمًا. فَمَنْ نَبَأَكَ أَنَّهُ كَانَ يَخْطُبُ جَالِسًا فَقَدْ كَذَبَ، فَقَدْ صَلَّيتُ مَعَهُ أَكْثَرَ مِنْ أَلْفَي صَلَاة
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhotbah dengan berdiri kemudian duduk kemudian berdiri dan berkhotbah dengan berdiri. Siapa saja yang memberitakan kepadamu kalau beliau berkhotbah dengan duduk, sesungguhnya dia telah berdusta. Sungguh, aku telah shalat bersama beliau lebih dari dua ribu kali.” (H.r. Muslim, 2:589)
Walaupun kedua hadis di atas hanya sebatas perbuatan Nabi yang tidak menunjukkan hukum wajib, tetapi hadis tersebut merupakan penjelasan dari kewajiban yang disebutkan secara umum dalam ayat “maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah” (Q.s. Al-Jumu’ah:9).
Dengan demikian, perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadis di atas merupakan penjelasan dari perintah yang umum, maka perintah itu menjadi wajib. Wallahu a’lam.
Hadis lainnya yang menjadi dalil adalah hadis Malik bin Al-Huwairits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي
Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat.” (H.r. Bukhari, 1:155)
Lebih dari satu ulama mengatakan bahwa seumur hidup Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau tidak pernah shalat Jumat tanpa khotbah, sedangkan beliau telah memerintahkan kita untuk shalat sebagaimana beliau shalat. Kalaulah boleh shalat Jumat tanpa khotbah, pasti beliau akan melakukannya walau sekali, sebagai pengajaran atas kebolehannya, karena khotbah sangat berkaitan dengan shalat Jumat dan merupakan bagian dari shalat Jumat.
Dalil atsar sahabat dan tabi’in
Atsar yang diriwayatkan dari Umar bin Al-Khathab radhiallahu ‘anhu, ia berkata,
الخُطْبَةُ مَوضُعُ الرَكْعَتَيْنِ، مَنْ فَاتَتْهُ الخُطْبَةُ صَلَّى أَرْبَعًا
Khotbah merupakan tempat dua rakaat. Siapa saja yang terlewat dari khotbah maka hendaklah dia shalat empat rakaat.”
وَفِي رِوَايَةٍ : إِنَّمَا جُعِلَت الخُطْبَةُ مَكَانَ الرَّكْعَتَيْنِ فَإِنْ لَمْ يُدْرِكْ الخُطْبَةَ فَلْيُصَلِّ أَرْبَعًا
Dalam riwayat yang lain, “Khotbah itu tidak lain dijadikan pengganti dua rakaat. Jika seseorang tidak mendapatkan khotbah maka hendaklah dia shalat empat rakaat.”
Atsar di atas menunjukkan bahwa dua khotbah merupakan pengganti dari dua rakaat shalat zuhur. Oleh karena itu, keduanya adalah perkara wajib karena merupakan bagian dari shalat, begitu pula hukum penggantinya.
Atsar di atas adalah atsar yang sanadnya terputus dan tidak bisa dijadikan dalil. Kalaupun atsar tersebut benar-benar perkataan sahabat, maka masih tetap ada perselisihan mengenai penggunaanya sebagai dasar hukum. Adapun penyebuatan atsar tersebut di sini hanyalah sebagai isyarat bahwa sebagian ahli fikih menggunakannya sebagai dalil dalam permasalahan ini.
4. Apakah yang menjadi syarat satu atau dua khotbah?
Mayoritas ulama yang mempersyaratkat khotbah untuk shalat Jumat berbeda pendapat: apakah cukup hanya dengan satu khotbah atau harus dua khotbah. Dengan demikian, mereka terbagi menjadi dua pendapat.
Pendapat pertama, mempersyaratkan dua khotbah.
Pendapat ini merupakan pendapat Imam Malik dalam satu riwayat darinya, demikian pula sebagian pengikutnya (Malikiah). Begitu pula Syafi’iah dan juga riwayat yang masyhur dari Imam Ahmad, juga merupakan mazhab bagi Hanabilah.
Pendapat kedua, tidak mempersyaratkan dua khotbah, bahkan satu khotbah saja sudah mencukupi.
Pendapat ini merupakan pendapat Hanafiah dan Imam Malik dalam satu riwayat darinya, begitu pula sebagian Malikiah. Pendapat ini juga merupakan satu riwayat dari Imam Ahmad.
Tarjih: Pendapat yang kuat adalah pendapat yang pertama yang mempersyaratkan dua khotbah untuk shalat Jumat. Berikut ini dalil-dalil yang menguatakan pendapat tersebut.
Hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma,
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَخْطُبُ خُطْبَتَيْنِ وَهُوَ قَائِمٌ، يَفْصِلُ بَيْنَهُمَا بِجُلُوسٍ
Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhotbah dengan dua khotbah dengan berdiri. Beliau memisahkan keduanya dengan duduk.” (H.r. Bukhari, 1:221; Muslim, 2:589)
Hadis yang diriwayatkan oleh Jabir bin Samurah radhiallahu ‘anhu; ia berkata,
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ قَائِمًا، ثُمَّ يَجْلِسُ، ثُمَّ يَقُومُ فَيَخْطُبُ قَائِمًا
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhotbah dengan berdiri kemudian duduk kemudian berdiri dan berkhotbah dengan berdiri.” (H.r. Muslim, 2:589)
Dari dua hadis di atas jelas bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhotbah dengan dua khotbah, sedangkan beliau bersabda,
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي
Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (H.r. Bukhari, 1:155)
Dalil berikutnya adalah atsar mengenai dua khotbah yang merupakan pengganti dari dua rakaat shalat zuhur, sehigga setiap satu khotbah merupakan pengganti satu rakaat. Oleh karena itu, kekurangan satu khotbah itu seperti kurang satu rakaat.
Sebagai catatan, atsar yang menyatakan bahwa dua khotbah merupakan pengganti dua rakaat shalat zuhur tidak bisa dijadikan dalil karena sanadnya terputus dan itu hanya perkataan sahabat. Adapun penyebutan atsar tersebut di sini hanyalah sebagai isyarat bahwa sebagian ahli fikih menggunakannya sebagai dalil dalam permasalahan ini.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar